Image by pch.vector on Freepik
Indonesia merupakan salah satu pasar ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara. UMKM di Tanah Air telah mencatat kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional yang mana berdasar data Kadin Indonesia (2024) sudah mencapai 66 juta unit usaha atau 99% dari total pelaku usaha, menyerap sekitar 117 juta tenaga kerja (97% dari total) dan menyumbang 61% PDB nasional atau Rp9.580 triliun. Lalu Laporan Google-Temasek-Bain (2024) mencatat nilai ekonomi digital Indonesia saat ini sudah lebih dari USD 80 miliar dan diproyeksikan menembus USD 130 miliar pada 2025 (Indonesia.go.id, 2025). Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil, yaitu 5,03% pada 2024 (turun tipis dari 5,05% tahun sebelumnya), dan tingkat pengangguran terbuka hingga Februari 2025 tercatat 4,76% (BPS, 2025).
Di tengah data positif, adaptasi teknologi memiliki tantangan. Pemerintah menargetkan 30 juta UMKM terdigitalisasi pada 2024, namun hingga akhir 2023 baru sekitar 27 juta UMKM yang masuk ekosistem digital (Kemkominfo, 2024). Masih banyak pekerjaan rumah, misalnya adopsi cloud. Banyak UMKM yang selama ini hanya memanfaatkan internet untuk pemasaran sederhana tanpa memanfaatkan potensi cloud sebagai strategi bisnis. Padahal, adopsi cloud telah terbukti mampu memangkas biaya infrastruktur TI hingga 30 – 40%, sekaligus meningkatkan fleksibilitas pengembangan layanan baru (Aprillia et al., 2025).
Kabar baiknya, untuk membangun fondasi talenta digital, Google Cloud melalui program JuaraGCP telah melatih ribuan developer Indonesia, tercatat 672 ribu lab interaktif telah diselesaikan oleh peserta di seluruh Indonesia (Program Pelatihan JuaraGCP, 2025). Hal ini mencerminkan mulai tumbuhnya ekosistem developer lokal yang siap memanfaatkan layanan cloud dan AI.
Singkatnya, Indonesia memiliki potensi ekonomi digital besar, namun transisinya masih perlu didorong. Artikel ini mengeksplorasi kenapa adopsi cloud di UMKM/ perusahaan menengah masih rendah, bagaimana potensi ekonomi cloud-enabled hingga 2030, serta bagaimana Crocodic dapat berperan sebagai mitra transformasi digital.
Cloud Bermula dari Infrastruktur ke Strategi Bisnis
Awalnya cloud computing hanya dianggap sebagai sarana memindahkan server fisik ke data center pihak ketiga agar tidak perlu membangun sendiri atau disebut Infrastructure as a Service. Namun kini cloud telah berevolusi menjadi fondasi inovasi bisnis. Layanan Platform as a Service (PaaS) dan Software as a Service (SaaS) mengizinkan perusahaan mengembangkan dan menjalankan aplikasi tanpa fokus mengelola hardware. Perkembangan selanjutnya, arsitektur cloud-native dan komputasi elastis (skala otomatis naik-turun) memungkinkan perusahaan dengan cepat meluncurkan aplikasi dan analitik Big Data/ AI sesuai kebutuhan bisnis. Misalnya, perusahaan fintech dan e-commerce kini menggunakan cloud untuk mengelola infrastruktur data pelanggan dan transaksi yang sangat dinamis. Riset menunjukkan penerapan cloud dan teknologi disruptif terkait (IoT, AI) mempercepat inovasi dan terciptanya model bisnis baru yang lebih efisien (Aprillia et al., 2025).
Di Indonesia, sejumlah perusahaan besar sudah menjadikan cloud sebagai inti strategi. Contohnya, Telkomsel bersama Singtel meluncurkan solusi 5G dan edge cloud computing pertama di Indonesia (platform Singtel Paragon) yang mengintegrasikan kemampuan multi-cloud dan network slicing. Platform Paragon tersebut dirancang untuk mengurangi kompleksitas operasional dan memudahkan adopsi layanan komputasi edge, sehingga membuka jalan bagi efisiensi dan inovasi bisnis. Fitur utama Paragon antara lain Multi-cloud Management, yang memfasilitasi penyebaran beban kerja di berbagai platform cloud tanpa hambatan (Sari, 2024). Artinya, perusahaan tidak terjebak satu vendor saja, tetapi bisa memilih penyedia terjangkau sesuai kebutuhan beban kerja masing-masing.
Studi kasus global juga menegaskan manfaat jangka panjang dari cloud. Studi oleh Wilianto & Fitri menemukan bahwa sebuah perusahaan manufaktur di Indonesia yang migrasi ke cloud berhasil mengurangi 60% waktu administrasi TI rutin, meningkatkan produktivitas tim TI sebesar 35%, dengan rata-rata ROI 127% (Aprillia et al., 2025). Penelitian oleh Ritchi et al. dalam Aprillia et al. (2025) melaporkan implementasi cloud di 150 perusahaan menghemat Total Cost of Ownership (TCO) infrastruktur TI sekitar 25 – 30% dalam tiga tahun. Laporan IDC juga memproyeksikan belanja global untuk layanan cloud publik mencapai USD 312 miliar pada 2020 dan tumbuh dengan CAGR 24,1% menjadi ~USD 1 triliun pada 2024, menegaskan tren menuju ekonomi berbasis cloud. Singkatnya, perusahaan yang bermigrasi ke cloud dapat menghemat biaya operasional sekitar 20 – 40% atau lebih, sambil meningkatkan kecepatan peluncuran layanan baru karena tak perlu menunggu pengadaan hardware baru (Aprillia et al., 2025).
Dalam konteks bisnis, adopsi cloud memungkinkan hal-hal berikut:
- Efisiensi biaya & skalabilitas, cukup membayar sumber daya sesuai penggunaan (pay-as-you-go), sehingga beban pengeluaran modal bisa turun dan biaya operasional bisa dioptimalkan secara otomatis.
- Akses teknologi mutakhir, tanpa investasi infrastruktur, perusahaan mendapatkan akses ke AI, IoT, big data dan analitik, sehingga bisa menerapkan teknologi ini dalam operasi sehari-hari.
- Ketahanan & kontinuitas bisnis, backup dan pemulihan otomatis di cloud meningkatkan resilience; jika ada kendala atau lonjakan request, sistem cloud lebih siap menyesuaikan secara cepat (Aprillia et al., 2025).
- Konsolidasi data real-time, Cloud terpusat memudahkan integrasi data dari berbagai unit. Misalnya, integrasi data penjualan seluruh gerai ritel dapat mempercepat restock dan analitik demand.
Pada intinya, cloud telah bergerak dari sekadar infrastruktur menjadi strategi bisnis inti. Organisasi yang memanfaatkan cloud tidak hanya mengurangi pengeluaran TI tetapi juga mendapatkan skalabilitas dan kecepatan inovasi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan model tradisional (Aprillia et al., 2025).
Hambatan di Lapangan: UMKM dan Mindset “Wait-and-See”
Meskipun manfaat cloud sudah jelas, pelaku UMKM dan perusahaan menengah Indonesia menghadapi berbagai kendala praktis. Studi-studi kualitatif menunjukkan hambatan seperti kurangnya literasi teknologi dan SDM TI, keterbatasan dana awal, kekhawatiran keamanan, konektivitas yang belum merata, serta rasa tergantung pada satu vendor cloud. Kadin Indonesia (2024) mencatat beberapa tantangan UMKM yang relevan, seperti lemahnya inovasi & adopsi teknologi, literasi digital rendah, produktivitas yang belum optimal, hingga masalah pembiayaan. Banyak pemilik usaha hanya beroperasi secara tradisional, misalnya pencatatan transaksi di buku manual atau spreadsheet offline, karena belum merasakan langsung dampak otomatisasi dan integrasi data.
Di sisi eksternal, kondisi ekonomi makro saat ini menambah ketidakpastian. BPS (2025) melaporkan TPT turun menjadi 4,76%, tetapi serikat pekerja mencatat sekitar 100.000 karyawan terkena PHK antara Juni 2024 – April 2025 (VOI, 2025). Gelombang PHK besar-besaran juga terjadi di sektor teknologi global di mana lebih dari 300 ribu karyawan sejak 2024 (Kompas, 2025). Di dalam negeri, startup besar seperti GoTo (merger Gojek-Tokopedia) dan Shopee juga melakukan pemangkasan karyawan. GoTo memangkas 5,6% staf pada Maret 2023, dan Shopee mem-PHK 200 orang pada Maret 2023 (Septiani, 2023). Bahkan, PHK 450 karyawan Tokopedia/ TikTok Shop pada 2024 sempat dikhawatirkan mengganggu UMKM lokal yang tergabung dalam platform tersebut (Anggraeni, 2024). Fenomena ini memiliki dampak ganda, permintaan konsumen UMKM menurun, sekaligus banyak talenta beralih jadi wirausaha mikro, sehingga daya beli dan kepercayaan usaha menjadi tertekan. Dalam situasi sulit ekonomi seperti ini, banyak UMKM cenderung wait-and-see, menunda investasi baru termasuk cloud.
Beberapa hambatan spesifik cloud bagi UMKM antara lain sebagai berikut.
- Literasi digital dan SDM TI terbatas, banyak pemilik usaha belum paham cara kerja cloud. Tanpa keahlian internal, integrasi sistem digital pun sulit. Kadin menyoroti literasi digital sebagai tantangan utama UMKM (Kadin, 2024).
- Biaya migrasi dan pendanaan awal, walau long-term cost lebih hemat, migrasi ke cloud memerlukan investasi (setup, pelatihan, perangkat keras pendukung) yang dianggap besar oleh UMKM kecil. Sementara pendanaan murah untuk transformasi digital masih terbatas.
- Kekhawatiran keamanan dan kendali data, sebagian pengusaha khawatir data bisnis “hilang” di cloud atau disalahgunakan. Studi menemukan 67% perusahaan global menyebut keamanan/ privasi data sebagai hambatan utama adopsi cloud (Aprillia et al., 2025). Padahal, penyedia cloud besar sebenarnya sudah menerapkan enkripsi dan sertifikasi keamanan tinggi.
- Konektivitas tidak merata, di luar kota besar, infrastruktur internet belum cepat atau stabil. Ini menyulitkan UMKM daerah untuk menjalankan layanan cloud dengan mulus. Sebuah platform cloud tanpa koneksi lancar akan kontra-produktif.
- Ketergantungan pada vendor (vendor lock-in), adanya kekhawatiran terikat satu penyedia layanan sehingga pindah vendor sulit dan mahal. Pendekatan multi-cloud atau hybrid bisa mengurangi risiko ini, misalnya platform Paragon Telkomsel mendukung manajemen multi-cloud untuk mendorong fleksibilitas penyebaran aplikasi (Sari, 2024).
Karena hal-hal di atas, banyak pelaku usaha menengah dan kecil memilih “menunggu”. Mereka ingin melihat buktinya dulu di perusahaan lain sebelum berani investasi. Padahal, jika risiko dan biaya awal tidak segera diatasi, mereka berisiko tertinggal. Survei APJII menemukan sebagian besar UMKM masih sangat mengandalkan metode analog atau setengah digital dalam operasional (Kadin, 2024). Kesenjangan adopsi ini menunjukkan perlunya pendekatan edukasi praktis, contohnya pemerintah dan pihak swasta perlu menyelenggarakan pelatihan keamanan cloud, penyediaan subsidi migrasi, dan sosialisasi manfaat jangka panjang cloud. Data global dan regional menyarankan bahwa ketika hambatan seperti literasi dan biaya dikurangi (melalui pelatihan, insentif, kemitraan), adopsi cloud UMKM akan meningkat secara signifikan (Aprillia et al., 2025).
Namun penting diberi batasan bahwa tidak semua UMKM memiliki kebutuhan dan kesiapan yang sama dalam mengadopsi cloud. Secara khusus, usaha mikro umumnya belum memerlukan adopsi cloud tingkat lanjut (seperti platform data atau arsitektur cloud-native). Banyak dari mereka sudah mendapatkan benefit dari digitalisasi dasar melalui platform SaaS tanpa konfigurasi, seperti Shopee, GoFood, atau WhatsApp Business yang mana telah menggunakan cloud. Usaha mikro secara tidak langsung sudah mengadopsi cloud, namun cloud tidak wajib diadopsi oleh mereka, kecuali jika ada kebutuhan spesifik seperti skala operasional yang membesar, kerja sama antar lokasi, atau integrasi sistem yang lebih kompleks. Namun, jika didampingi oleh mitra teknologi, potensi adopsi cloud tetap ada dan mungkin bisa mendukung lompatan digital saat pasar menuntut efisiensi lebih tinggi.
Cloud untuk UMKM adalah Peluang Nyata atau Hanya Hype?
Potensi cloud computing bagi UMKM Indonesia sejatinya sangat besar, bukan sekadar tren sesaat. Country Director Google Cloud Indonesia, Fanly Tanto pernah mengklaim bahwa jika startup dan UMKM Indonesia secara efektif memanfaatkan layanan Google Cloud (termasuk analitik data dan AI), nilai ekonomi yang dihasilkan bisa mencapai Rp990 triliun pada 2030 (Azhar, 2025). Angka ini menegaskan betapa besar peluang yang bisa diraih. Kemudian pertanyaan pun muncul, sejauh mana UMKM siap mengubah potensi itu menjadi kenyataan?
Kebutuhan riil UMKM yang paling diuntungkan oleh cloud antara lain sebagai berikut.
- Ritel & distribusi: UMKM dengan banyak outlet atau inventori (grosir, distribusi retail) sangat diuntungkan sistem kasir dan manajemen stok berbasis cloud. Dengan cloud, data penjualan di seluruh outlet terintegrasi real-time, sehingga restock otomatis dan analitik penjualan bisa dioptimalkan.
- Kuliner & restoran: Bisnis kuliner dengan permintaan online/ offline dapat memanfaatkan cloud untuk mengintegrasikan pemesanan digital, stok bahan baku, dan laporan keuangan. Misalnya, solusi digital seperti yang disediakan Indibiz (Telkom) membantu warung/ kantin kecil mengelola pesanan online dan pembayaran digital. Studi kasus menunjukkan UMKM kuliner di Yogyakarta yang menggunakan layanan Indibiz dapat menjangkau pelanggan dari berbagai kota, mengelola pesanan dan pembayaran secara online, serta meningkatkan pendapatan secara signifikan (Indibiz, 2025).
- Agrikultur & logistik: Startup sektor agritech seperti Sayurbox, meski bukan UMKM, telah membuktikan nilai cloud bagi rantai pasok. Dengan implementasi Google Maps Platform, Sayurbox mengoptimalisasi pengiriman produk segar dan menghemat hampir 25% biaya per pengiriman. Sayurbox juga memfasilitasi 10 ribu petani yang sebagian besar adalah UMKM agar terhubung langsung dengan pasar digital dan pendekatan data-driven (Google Cloud, 2021). UMKM agrikultur yang mengandalkan logistik harian dapat mengikuti strategi serupa, menggunakan platform cloud atau SaaS sederhana untuk mulai mengotomatisasi distribusi dan pengolahan data permintaan.
- Fintech dan platform digital: UMKM di bidang pembayaran digital, e-commerce, atau penyedia layanan online sangat bergantung pada keandalan infrastruktur data. Cloud memberikan kecepatan fleksibel pada server dan keamanan (misalnya untuk penyimpanan data pelanggan), serta kemudahan dalam integrasi dengan layanan pembayaran dan marketplace. Tanpa cloud, skala besar dan integrasi lintas-platform akan sulit dicapai.
Era AI membuat adopsi cloud semakin mendesak. Contohnya saja Google Cloud meluncurkan program Indonesia BerdAIa untuk mendorong solusi AI di berbagai sektor. Inti dari inisiatif ini adalah bahwa akses ke teknologi AI mutakhir sangat bergantung pada infrastruktur cloud yang matang. UMKM yang belum menyiapkan fondasi cloud mereka akan kesulitan mengikuti gelombang inovasi AI berikutnya. Maksudnya adalah, cloud computing bukan lagi sekadar tempat penyimpanan data, tapi menjadi pondasi inovasi masa depan.
Cloud bagi UMKM bukan sekadar hype. Ada sektor-sektor tertentu di mana cloud-driven digitalisasi dapat langsung meningkatkan efisiensi operasional dan pendapatan. Dukungan teknologi ini terutama krusial untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi saat ini. Meskipun demikian, kesuksesan membutuhkan pendekatan yang tepat, termasuk kolaborasi dengan penyedia teknologi dan pihak ketiga. Pada akhirnya, proyeksi nilai ekonomi triliunan rupiah hingga 2030 hanyalah bisa tercapai jika UMKM benar-benar memanfaatkan peluang yang ada.
Strategi Adopsi Bertahap: Belajar dari Enterprise untuk UMKM
Agar usaha kecil menengah tidak terbebani, adopsi cloud hendaknya dilakukan bertahap dan terukur. Perusahaan besar pun banyak memulai transformasi digital mereka dengan langkah-langkah minimal risiko. UMKM dapat belajar dari mereka dengan membuat roadmap yang realistis:
- Digitalisasi Awal (Quick Wins)
Mulai dengan mengadopsi aplikasi cloud yang memberi dampak langsung ke operasi harian. Contohnya, beralih ke sistem kasir online atau aplikasi akuntansi berbasis cloud. Beralih ke platform e-commerce, marketplace, dan digital payment gateway juga termasuk langkah awal yang mengotomatisasi penjualan dan keuangan. Melakukan reservasi cloud backup sederhana untuk data penting (misal foto struk atau database pelanggan) juga dapat meningkatkan ketahanan usaha tanpa biaya besar. Pada tahap ini, UMKM belajar menggunakan antarmuka cloud tanpa mengubah model bisnis inti. - Migrasi Fungsi Non-Kritis
Setelah terbiasa, UMKM dapat mulai memindahkan layanan back-office ke cloud. Misalnya menyimpan backup di layanan cloud storage agar data tidak hilang jika perangkat rusak, menggunakan Google Workspace atau Microsoft 365 untuk email, atau menjalankan sistem inventori kecil di cloud. Penyedia cloud lokal sudah ada yang menyediakan Cloud & Data Center yang memungkinkan UMKM menyimpan dokumen dan aplikasi tanpa harus membangun infrastruktur sendiri. Tahap ini relatif berisiko rendah namun membuat usaha terbiasa dengan model berlangganan dan manajemen sumber daya off-premises (infrastruktur fisik ada di luar). - Infrastruktur Cloud-Native
Tahap lanjutan melibatkan memanfaatkan layanan cloud lebih dalam. UMKM yang mulai memerlukan skalabilitas tinggi bisa memanfaatkan auto-scaling pada server cloud. UMKM skalabilitas tinggi yaitu yang menerima lonjakan permintaan, pertumbuhan cepat, dan data transaksi yang membesar. Penerapan database terkelola (misal Cloud SQL, MongoDB Atlas) atau container (Docker/ Kubernetes) dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan efisiensi TI. Di tahap ini, tim atau mitra konsultan perlu pelatihan lebih dalam agar mampu memanfaatkan API, machine learning, analitik data, dan integrasi lintas-cloud. Tujuannya membangun kesiapan jangka panjang – infrastruktur yang fleksibel, otomatis, dan siap integrasi AI – bukan sekadar lift-and-shift.
Langkah-langkah di atas perlu didukung oleh ekosistem yang berkembang. Banyak penyedia cloud besar menawarkan skema pay-as-you-go yang memungkinkan usaha kecil memulai dengan biaya minimal sesuai penggunaan aktual. Google Cloud menawarkan free tier dan kredit awal bagi startup. Selain itu, pemerintah kini aktif memfasilitasi talenta digital. Contohnya program gabungan Kemenkominfo – Google Cloud menargetkan melatih 8.500 mahasiswa dalam AI, analitik data, keamanan siber, dan cloud engineering secara gratis. Diharapkan lulusan program semacam ini menjadi tenaga ahli siap pakai yang dapat membantu UMKM.
Sinergi dengan pihak eksternal juga krusial. Pelaku UMKM sebaiknya memanfaatkan kemitraan digital, bekerja sama dengan penyedia software lokal atau konsultan IT untuk proses migrasi. Dukungan konsultan dapat mempercepat adopsi teknologi baru oleh UMKM. Konsultasi awal yang benar dapat menurunkan risiko teknis dan mengoptimalkan struktur biaya cloud.
Kesimpulan
Komputasi awan (cloud) menawarkan potensi besar bagi perekonomian digital Indonesia menuju 2030, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi digital yang signifikan. Bagi UMKM, adopsi cloud realistis dan dapat memangkas biaya operasional serta mempercepat inovasi. Namun, keberhasilan ini bergantung pada kesiapan infrastruktur, ketersediaan talenta terlatih, ekosistem regulasi yang suportif, dan kemitraan strategis. Proyeksi ambisius ekonomi digital 2030, termasuk target 30 juta UMKM terdigitalisasi, dapat tercapai jika langkah-langkah strategis diambil sekarang melalui kolaborasi kuat antara pemerintah, swasta, dan ekosistem UMKM.
Dalam konteks transformasi digital ini, Crocodic sebagai pengembang teknologi IoT dan aplikasi, memiliki peran penting. Crocodic dapat membantu mengintegrasikan perangkat IoT dan aplikasi pelanggan, serta data yang dihasilkan, dengan platform cloud yang sesuai untuk mendukung inisiatif kecerdasan buatan (AI). Meskipun tidak menyediakan layanan cloud hosting sendiri, keahlian Crocodic dalam IoT dan pengelolaan data memungkinkan untuk menjadi mitra yang berharga dalam membantu klien memanfaatkan potensi AI melalui infrastruktur cloud yang ada. Peran ini sejalan dengan kebutuhan UMKM akan dukungan teknis eksternal untuk mempercepat adopsi teknologi.
Kunci utamanya adalah aksi kolaboratif dan percepatan transformasi digital. Bagi UMKM dan perusahaan menengah, memulai perjalanan cloud berarti membangun fondasi untuk otomatisasi dan inovasi di era AI. Bagi Crocodic dan ekosistem teknologi lokal, inilah kesempatan untuk mendampingi bangsa menuju masa depan yang melek digital, memastikan target ekonomi digital yang ambisius dapat dicapai secara realistis melalui integrasi teknologi yang tepat.
Daftar Pustaka
Anggraeni, R.. (2024, 19 Juni). PHK karyawan bakal berdampak kepada UMKM lokal: Tokopedia, TikTok [Artikel].
ANTARA News. (2025, 22 Mei). Program pelatihan JuaraGCP dari Google telah rampungkan 672 ribu lab [Berita]. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/4852125/program-pelatihan-juaragcp-dari-google-telah-rampungkan-672-ribu-lab
Aprillia, L., Febiyana, M., & Pungkasari, S. S. (2025). Peran cloud computing dalam meningkatkan efisiensi sistem informasi di perusahaan. Jurnal Manajemen Sistem Informasi (JMSI), 6(2), Juni. ISSN: 2715-9426.
Azhar, M. (2025, 26 Mei). Kementerian Kominfo dan Google Cloud kolaborasi cetak 100 startup AI [Artikel]. Diakses dari https://govinsider.asia/indo-en/article/kementerian-komdigi-dan-google-cloud-kolaborasi-cetak-100-startup-ai
Badan Pusat Statistik. (2025, 5 Februari). Ekonomi Indonesia tahun 2024 tumbuh 5,03 persen (c-to-c); ekonomi Indonesia triwulan IV 2024 tumbuh 5,02 persen (y‑on‑y); ekonomi Indonesia triwulan IV 2024 tumbuh 0,53 persen (q‑to‑q) [Siaran pers].
Badan Pusat Statistik. (2025, 5 Mei). Tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 4,76 persen; rata‑rata upah buruh sebesar Rp3,09 juta [Siaran pers].
Indibiz. (2025, April 3). 11 Ekosistem Indibiz yang Membantu UMKM Bertumbuh di Era Digital. Diakses dari https://indibiz.co.id/artikel/11-ekosistem-indibiz-yang-membantu-umkm-bertumbuh-di-era-digital
Indonesia.go.id. (2025, 17 Juli). Indonesia: Pasar strategis dan mitra masa depan ekonomi global. Diakses dari https://indonesia.go.id/kategori/editorial/9704/indonesia-pasar-strategis-dan-mitra-masa-depan-ekonomi-global
Kadin Indonesia. (2025). UMKM Indonesia. Diakses dari https://kadin.id/data-dan-statistik/umkm-indonesia/
Kemkominfo. (2024, 7 Agustus). Kominfo Targetkan 30 Juta UMKM Adopsi Teknologi Digital pada 2024 [Siaran pers online].
Sari, R.P. (2024, 27 Februari). Telkomsel & Singtel luncurkan solusi 5G dan edge cloud computing [Berita]. Diakses dari https://cyberhub.id/berita/telkomsel-singtel-solusi-5g
Septiani, L. (2023, 29 Desember). Daftar startup PHK selama 2023: ada GoTo, Gojek, Tokopedia, dan Shopee. Diakses dari https://katadata.co.id/digital/startup/658e77263cad5/daftar-startup-phk-selama-2023-ada-goto-gojek-tokopedia-dan-shopeeVOI. (2023, 2 Mei). Is it true that the threat of mass layoffs still happening this year? [Artikel]. Diakses dari https://voi.id/en/bernas/276538/benarkah-ancaman-phk-massal-masih-terjadi-tahun-ini